Baru baru ini dunia medsos dihebohkan dengan ada legalisasi investasi industri minuman beralkohol di NTT, Papua, Bali dan Sulut. Melalui Perpres no 10-2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal.
Karena ditunggangi kepentingan politik halhal Ini sepertinya 'di blow up' dimanfaatkan untuk menyerang Pemerintahan Jokowi. Khusus nya Pak Jokowi.
Saya dalam hal ini tidak membahas tentang perijinan itu.
Seandainya rakyat tidak setuju tidak masalah, asal melalui prosedur instrument Demokrasi yang ada.
Saya hanya heran kehebohan itu rada lebay, karena pabrik Bir dan Wine sudah berdiri sebelum. Pemerintahan Jokowi.
Para Turis yang datang ke Indonesia juga sudah biasa minum Bir dan Wine di restoran. Kalangan masyarakat tertentu di Indonesia juga sudah biasa minum minuman beralkohol sejak jaman Belanda.
Kenapa seolah baru dan hanya Pak Jokowi yang dituduh melegalkan miras?
*Data data dibawah hanya hasil search saya di Google. Semua orang bisa melakukannya sendiri.*
#) Sejak jaman penjajahan Belanda sudah berdiri pabrik Bir di Indonesia yang sampai sekarang masih bertahan. Hampir semua masyarakat Indonesia mengenalnya
#) Tahun 1929 sudah berdiri pabrik bir di Medan NV. Nederlandsch Indishe Bier Brouwerijen. Tahun 1936 pindah ke Surabaya dengan kepemilikan oleh Heinneken NV. Tahun 1967 dibawah PT. Multi Bintang Indonesia dengan produknya Bir Bintang dan Greensand.
#) Tahun 1932 berdiri Archipel Brouwery Compagnie. Dikendalikan oleh Beck's Jerman. Kemudian berubah menjadi NV De Oranye Brouwery
1970 menjadi PT. Delta Djakarta
Produknya Anker/ Carlsberg / Shandy
Dimana sampai saat ini. Pemda DKI masih menjadi salah satu pemegang sahamnya.
#) Tahun 1975 berdiri Bali Hai, yang produknya sdh di eksport ke 20.negara.
#) Di Bali ada 3 industri minuman Wine
dengan merek Sahabay, Bellissimo dan Hatten sejak tahun 90 an. Semua menggunakan hasil panen anggur lokal rakyat. Sebagian besar juga di eksport.
Data data diatas hanya ingin menunjukkan bahwa produksi Bir dan Wine sudah ada di Indonesia sebelum Jokowi jadi Presiden.
Bukankah minuman beralkohol selama ini sudah dijual di toko mart, mall, bar dan restoran tertentu? Sebelum Pak Jokowi jadi Presiden?
Jangan diplintir seolah Pak Jokowi lah yang memulai legalisasi Miras di Indonesia.
*Hai para politisi dan haters bermainlah dengan elegant jangan memanipulasi informasi.*
*Saat menjadi Gubernur DKI Jakarta, Jokowi mati-matian mengendalikan banjir.* Pengerukan sungai, penggalian dan pelebaran sungai, normalisasi waduk dan pembebasan bantaran kali dari rumah-rumah liar dilakukan secara membahana. Tetapi usaha Jokowi itu tidak maksimal. Ada satu kendala. Koordinasi, dukungan dan sinergi dari pemerintah pusat yang saat itu dikendalikan oleh SBY dan Demokratnya berjalan macet.
*SBY dan Demokratnya berbeda haluan politik dengan Jokowi*. Jokowi yang dari PDIP-Megawati merupakan lawan politik dari Demokrat-SBY. Jika SBY-Demokrat mendukung penuh Jokowi di DKI dan sukses, maka yang beruntung adalah Jokowi dan PDIP. Inilah intrik politik yang membuat DKI Jakarta menjadi korban.
*Pengalaman Jokowi yang didera oleh intrik politik itu kemudian bersuara lantang.* “Lebih mudah mengendalikan banjir dan membenahi kemacetan Jakarta bila dia menjadi Presiden”, ujar Jokowi dengan optimis lima tahun lalu, Februari 2014. Menurut Jokowi, seorang presiden akan mudah mengatur dan memerintahkan kepala daerah di kawasan Jabodetabek untuk bekerja sama.
*Lalu mengapa setelah menjadi Presiden, Jokowi terlihat tak bisa berbuat apa-apa* membenahi Jakarta? ( lanjutkan baca berita menarik di bawah ini....👳👴👵👇 )
*Ternyata pembiaran banjir di Jakarta adalah bagian dendam kesumat Anies dan kaum kadrun* kepada Jokowi. Dendam kesumat Anies dan kaum kadrun itu disebabkan oleh empat hal. Pertama, pemecatan Anies dari kursi Menteri Pendidikan oleh Jokowi, kedua, gagalnya Jokowi dilengserkan lewat kasus Ahok, ketiga pembubaran ormas HTI yang memukul impian pembentukan khilafah di Indonesia dan keempat pembubaran efpei.
*Saya tidak akan fokus mengulas empat alasan dendam Anies dan pendukungnya di atas*, tetapi saya fokus membahas dampak dari dendam Anies kepada Jokowi. Dendam kesumat Anies dan pendukungnya itu membuat pembenahan Jakarta terkendala. Jika tahun 2012-2014 kendala ada di pemerintah pusat, kini justru kendala ada di pemerintah Pemprov DKI.
*Sejak tahun 2017, gubernur DKI Jakarta bukan lagi Ahok.* Padahal ketika Jokowi naik menjadi Presiden, ia mengharapkan Ahok yang tetap menjadi gubernur. Ahok sangat loyal kepada Jokowi. Ketika Jokowi sukses menjadi Presiden, Ahok semasih gubernur DKI, pembenahan Jakarta dan pengendalian banjir sudah sangat terarah.
*Dalam hal mengendalikan kemacetan, pembangunan MRT, LRT dan pengembangan bus* Transjakarta, kebijakan three in one, penghapusan armada bus tua dan seterusnya sudah dimulai sejak era Jokowi dan diteruskan oleh Ahok. Hasilnya MRT, LRT, Transjakarta, sudah sangat dinikmati saat ini. Namun berhenti sampai di situ. Kebijakan Anies soal penanganan macet yang baru nol sama sekali. Anies hanya asyik dengan kebijakan ganjil-genapnya.
*Terkait soal pendendalian banjir, kebijakan Jokowi-Ahok sudah dimulai ketika waduk-waduk* dibangun, normalisasi sungai dan pemindahan penduduk dari bantaran sungai ke rumah-rumah susun dilakukan. Namun ada dua rencana besar yang baru dan bahkan dimulai di era Jokowi-Ahok. yakni normalisasi kali Ciliwung dan pembuatan waduk super raksasa di Pantai Utara Jakarta.
*Rencana Jokowi-Ahok kala itu adalah meminjam dana besar dari World Bank.* Lewat dana yang dipinjam dari World Bank, kampung-kampung kumuh di seluruh bantaran kali Ciliwung akan direvitalisasi total. Warga yang tergusur akan diberikan rumah murah dan lapangan kerja yang memadai. Dana dari World Bank ini akan dikucurkan lewat jaminan pemerintah pusat kepada Pemprov DKI.
*Lalu apa yang terjadi? Belum sempat dana itu dicairkan,* ternyata yang menjadi Gubernur DKI Jakarta 2017 adalah Anis Baswedan, menteri pecatan Jokowi. Anies saat maju menjadicagub, aliran politiknya sudah berbeda total dengan Jokowi. Anies kemudian tidak lagi meneruskan progam Jokowi-Ahok, tetapi sebaliknya ia menghentikan normalisasi sungai dan menggantinya dengan naturalisasi sungai.
*Selama dua tahun Anies menjadi Gubernur, normalisasi sungai dihentikan.* Anies malah memangkas anggaran Rp 500 miliar untuk penanggulangan banjir dan mengalihkannya untuk program Formula E, ajang balap internasional. Anies dan pendukungnya paham bahwa setiap Jakarta banjir, maka pihak yang akan disalahkan adalah Jokowi sebagai Presiden. Inilah niat jahat Anies kepada Jokowi sebagai bentuk balas dendam.
*Ketika program normalisasi total kali Ciliwung digagalkan dan dicuekkan Anies*, rencana besar Jokowi yang kedua juga gagal total. Jokowi-Ahok sudah merencanakan program tanggul raksasa sebagai solusi total mengatasi banjir. Seiring dengan tanggul raksasa, maka program reklamasi Pantai Utara Jakarta juga akan dibangun besar-besaran.
Jokowi bermimpi bahwa ketika program kali Ciliwung berhasil dilakukan, maka air akan mengalir langsung ke waduk super raksasa yang ada pada proyek reklamasi. Dari sana akan dipompa oleh puluhan bahkan ratusan mesin pompa raksasa ketika musim hujan tiba. Namun ketika musim kemarau, air waduk akan diolah menjadi sumber bahan baku air bersih.
*Lalu apa yang terjadi? Lagi-lagi terkendala oleh dendam kesumat Anies Baswedan.* Anies selaku penguasa DKI dengan berlindung di balik Undang-undang otonomi daerah berhak membatalkan proyek reklamasi dan membuang ke tong sampah ide waduk super raksasa Jokowi-Ahok. Bukan hanya membuang ide pompa raksasa ke laut, Anies malah memunculkan ide super dungu bahwa air hujan itu harus dimasukkan ke bumi lewat vertical drainase atau lubang resapan. Hasilnya gagal total.
Lagi-lagi warga DKI Jakarta, menjadi korban dendam Anies dan kaum kadrun kepada Jokowi. Ternyata jika normalisasi kali Ciliwung, pembuatan waduk super raksasa Pantai Utara Jakarta sukses dan didukung total Anies, maka yang dipuji habis adalah Jokowi. Hal ini sama sekali tidak diterima oleh Anies dan pendukungnya.
*Janji Jokowi bahwa pembenahan Jakarta akan lebih mudah ketika ia menjadi Presiden* gagal ditepati. Ternyata janji Jokowi itu hanya bisa terlaksana bila Ahok yang tetap menjadi gubernur dan bukan Anies. Anies malah sengaja menghalangi janji Jokowi itu agar tidak pernah bisa ditepati untuk memuaskan dendam kesumatnya.
*Jelas demi dendam kesumatnya kepada Jokowi, Anies rela membuat Jakarta tenggelam* karena banjir. Anies tidak ingin membuat Jakarta bebas dari banjir. Anies bahkan senang jika Jakarta banjir karena ia bisa mengejek habis Jokowi. Anies mengejek Jokowi. Hanya Anies yang bisa mengatasi banjir jika ia menjadi Presiden tahun 2024 mendatang.
*Jadi sekarang berkat banjir, dendam kesumat Anies kepada Jokowi terbongkar.* Warga Jakarta dan seluruh rakyat Indonesia bisa melihat sendiri dampak dari dendam kesumat Anies dan pendukungnya itu kepada Jokowi. Jakarta tenggelam. Tragis kura-kura.
FULL: INILAH SESI TERPANAS DEBAT PILPRES KE-4, JOKOWI VS PRABOWO - 30 MARET 2019
DETIK DETIK PRABOWO KELUARKAN SIFAT ASLINYA PASCA DEBAT
Analisa debat semalam
Saya kadang bingung sama Prabowo. Di matanya semua gak ada yang genah. Sama TNI, dia curiga dan gak percaya. Katanya TNI suka melapor asal bapak senang saja. Dia seakan meremehkan kekuatan TNI.
Bahkan katanya, Prabowo lebih TNI dari TNI. Saya bingung, apa yang dimaksud lebih TNI dari TNI. Oh, mungkin maksudnya, dia adalah anggota TNI yang dipecat. Makanya berbeda dengan anggota TNI biasa.
Dalam kepala Prabowo, dunia selalu berada dalam ancaman. Dia seperti parno menghadapi kehidupan internasional. Makanya yang dipikirin melulu alat perang. Itupun perang dalam arti tradsional. Militer saling bertempur. Mesiu. Bom. Ledakan. Saling bunuh.
Padahal dunia sudah berubah. Jauh berubah. Perang bukan lagi hanya ekspansi fisik. Senjata. Darah. Atau mesiu. Perang saat ini lebih pada ekspansi informasi akibat teknologi informasi.
Disinilah Jokowi lebih peka melihat persoalan. Dia bukan hanya memperkuat militer dengan alutsita tradisional seperti senjata, tank dan pesawat. Lebih dari itu, dia berusaha memenuhi kebutuhan alutsita kita dengan mengembangkan teknologi pertahanan sendiri.
Kini kita sudah mampu memproduksi berbagai alat perang yang canggih. Tank dan senjata diproduksi Pindad. Kapal selam dan kapal perang diproduksi dalam negeri. Sementara teknologi informasi diperkuat untuk menghadang kekuatan asing.
Ketika Prabowo masih sibuk mau mengeluarkan banyak dana untuk alat perang tradisional, Jokowi lebih memilih berpikir jangka panjang. Membangun industri persenjataan dalam negeri dan mengembangkan tenaga-tenaga cyber.
Dalam persoalan pertahanan dan keamanan jelas tergambar, bagaimana seorang militer pecatan berhadapan dengan seorang pemimpin visioner. Bagaimana orang yang melulu mengandalkan otot dengan Jokowi yang lebih mengandalkan otak.
Bagaimana orang emosional berhadapan dengan lelaki bijak dengan cara berpikir jernih.
Ketika bicara soal politik luar negeri, seperti biasa Prabowo selalu melecehkan bangsanya. Dia seolah merasa bisa menyelesaikan masalah diplomasi dengan senjata.
Kadang kita bingung. Bagaimana seorang Prabowo bisa menyelesaikan diplomasi luar negeri kalau dia sendiri terkena larangan masuk ke AS dan beberapa negara lain. Sebab sampai saat ini Prabowo dianggap sebagai penjahat HAM. Jadi sebagai personal, Prabowo sendiri punya reputasi buruk di mata dunia internasional. Bagaimana dia bisa membawa bangsa ini berhadapan dengan asing, jika dia sudah distempel sebagai penjahat kemanusiaan.
Yang paling menarik, Prabowo selalu bicara soal harta kita di bawa ke luar negeri. Padahal perusahaan milik Prabowo dan Sandiaga termasuk yang tercatat di Paradise Papers. Itu karena mereka menempatkan hartanya di negara surga pajak.
Artinya, ya Prabowolah aktor yang membawa harta bangsa ini ke luar negeri.
Gimana soal ideologi? Iya, Prabowo secara retoris mengakui Pancasila sebagai dasar negara. Tapi pengakuan gak cukup. Sampai sekarang kita gak melihat sikap tegasnya soal HTI dan khilafah.
Bahkan di panggung kampanyenya kemarin, bendera HTI berkibar dengan gagah. Menunjukan dukungan.
Jadi saya melihat, apa yang dikritik Prabowo terhadap bangsa ini, padahal dia sendiri menjadi bagian aktif disana. Mestinya dia mengkritik dirinya terlebih dahulu. Sebab kritiknya justru lebih tepat untuk dirinya sendiri. Ketimbang ditujukan pada Jokowi.
Untung saja Jokowi kalem. Dia sadar, debat kali ini sudah terlalu mepet dengan masa pencoblosan. Tidak akan banyak pengaruhnya kepada suara mengambang.
Dia membiarkan Prabowo marah-marah di panggung debat. Membiarkan emosi Prabowo meluap-luap seperti air mancur. Sebab ketika orang marah, sesungguhnya dia sedang membuka topengnya sendiri. Melucuti kekurangannya sendiri.
Sementara Prabowo ngamuk sampai memarahi penonton, Jokowi santai saja. Dia lebih fokus menjelaskan detil-detil persoalan. Lebih dingin dan adem.
Debat ini menampilkan dua karakter orang yang berbeda. Yang satu gila perang. Satunya lagi adem dan bersahabat.